Maretta AStri Nirmanda |
Dahulu batik identik dengan orang tua, emak-emak kalo gak gitu ya baju kondangan. Namun akhir-akhir ini batik mulai meluas pasarnya, batik sudah bukan lagi monopoli keraton ataupun orang tua-tua namun anak muda juga sangat bangga memakai batik yang notabene adalah pakaian khas asli Indonesia.
Hal ini tak lain karena jasa dari para desainer yang pandai dalam merancang mode sehingga pas untuk anak ABG . Mereka tahu bahwa sebenarnya semua orang Indonesia bangga memakai batik cuman kalau modelnya jadul ya... pikir-pikir dulu. Apalagi anak muda yang gaul. Tentu tengsi kalau mau pake baju model bapak-bapak atau ibu-ibu.
Ini pula yang menjadi dasar bagi Maretta Astri Nirmanda, gadis berusia 28 tahun ini melihat peluang batik model anak muda . Jadilah ia membuka bisnis batik yang ditorehkan pada kain denim, khas anak muda.
Awalnya Maretta atau Retta adalah orang yang bekerja di bidang desain produk di suatu perusahaan. Saat ia masih kuliah di ITB ia mengambil jurusan kriya tekstil, ia diajak temannya yang bernama Ivan untuk mengikuti lomba kontes rencana bisnis kreatif 2010 yang disponsori oleh Kementrian Perdagangan.
Mengikuti Lomba
Awalnya Retta ingin mengusung tema kuliner namun karena kuliner tidak termasuk bisnis kreatif maka Retta dan Ivan mengganti idenya dengan tema fashion. Retta kemudian punya ide bisnis dengan tema batik diatas denim. Waktu itu batik lagi boomingnya di nasionalisasikan sampai-sampai diwajibkan kantor-kantor memakai batik saat hari jum’at, namun batik yang segmentasinya untuk anak muda belumlah ada.
Akhirnya dibuatlah konsep bisnisnya. Dan merekapun mempresentasikannya.
Karena idenya sangat kreatif akhirnya mereka keluar sebagai runner up dan ber hak untuk mendapat hadiah sebesar 10 juta rupiah. Mereka pun ingin meneruskan ide bisnis ini dan Retta-Ivan menjadikan uang hadiah sebagai modal.
Bisnis ini pangsa pasarnya adalah remaja yang berumur 18 tahun keatas. “Segmen kami, mereka yang berusia 18 tahun ke atas. Kami pilih denim karena bahan itu sangat identik dengan anak muda. Bisa dipakai setiap hari,”ujar Retta. Merekapun kemudian melakukan perhitungan ulang dan merancang ulang bisnis plan mereka agar saat pelaksanaan di lapangan akan mendekati sempurna. Menurut Retta ternyata membatik diatas denim lebih sulit dari pada diatas kain katun yang semestinya.
Barang pun jadi. Sebagai langkah awal mereka memasarkannya di bazar kampus. “Saat itu kami sempat down karena ternyata batik denim hanya laku dua potong.” Namun Retta tak patah semangat. Ketika bulan November 2010, dirinya menerima undangan dari Kementrian Perdagangan untuk mengikuti mentoring bisnis dari pakarnya yang sudah sukses yaitu Betty Alisjahbana, Rene Suhardono, dan Iim Fahima.
Dari situlah ia tahu bahwa ia harus membuat brand untuk bisnisnya serta membuat badan usaha agar bisnisnya dimudahkan untuk berkembang. I akemudian membrand batik denimnya dengan nama Lazuli Sarae, Lazuli dari bahasa Persia artinya biru dan Sarae dari bahasa Sunda artinya bagus. Ia sengaja memilih nama mirip-mirip brand luar agar gampang jika Go Internasional.
Itulah Retta, anak muda yang tak patah semangat dalam mempertahankan serta mengembangkan idenya. Ia kemudian membuat badan usaha berbentuk CV agar nanatinya mudah untuk mengembangkan bisnis. I amerogoh kocek yang gak sedikit untuk membuat CV ini. Retta menamakannya dengan anama CV Sarae.
Retta juga tak mau setengah-setengah dalam menjalankan bisnisnya, ia kemudian memilih resign dari perusahaannya walau harus mendapat tantangan dari orang tuanya. Namun justru itu yang membuatnya terpacu untuk membesarkan Lazuly Sarae agar segera membuktikan pada ortunya bahwa keputusannya tidak salah.
Pada bulan April 2011 ia kembali mendapat undangan dari Departemen Perdagangan untuk mengikuti pameran Inacraft 2011. “Pameran ini memberi dampak sangat besar. Saya belajar banyak, terutama membaca keinginan pasar,” ujarnya.
Go Internasional
Menurutnya, Inacraft membuka gerbang bisnisnya. “Produk kami makin dikenal banyak orang. Dalam lima hari, omzet kami lebih dari 20 juta! Ini fantastis,” ungkap Retta.
Gara-gara ikut pameran inilah, bisnisnya akhirnya menembus pasar Eropa. Ia juga gencar melakukan promosi lewat internet. Dari web, facebook, Twitter, Yahoo Messenger, BBM sampai WhatsUp. Ternyata internet sangat cepat dalam memasarkan produknya.
Walau yang diangkat adalah batik namun tak selalu manis yang didapat, ia kerap mendapat teguran dari pengunjung pameran yang menganggap batik denim akan merusak citra asli batik namun Retta tak patah arang mendengarkannya. Retta tak memiliki maksud seperti itu, justru ia ingin menerjemahkan batik pada pola pikir anak muda. Sehingga pemuda-pemuda Indonesia bangga memakai budaya asli dalam negeri. Yang justru akan meningkatkan rasa nasionalisme anak muda Indonesia itu sendiri.
Baitk Lazuli Sarae di bandrol dengan harga antara 300 ribu hingga 1 juta rupiah. Omset yang ia dapat perbulannya mencapai 20 hingga 30 juta.
Karena rasa nasionalisnya yang tertuang dalam ide bisnis batiknya ini ia akhirnya dinobatkan sebagai The Most Potential Entrepreneur. Menurut salah satu juri lomba tersebut, Anne Avantie, Maretta memiliki produk yang sangat mengena pada anak muda, desain dan coraknya pas untuk remaja. Maretta sendiri tak menyangka hasil kerja kerasnya dinilai sampai sebegitu tingginya, menurutnya hal itu diluar perkiraan dirinya.
Kini LazuliSarae sudah beredar dimana-mana, baik itu di luar negeri atau di dalam negeri.
Kita bisa menjumpainya melalui outlet-outlet di mall terkemuka seperti Alun-Alun, Pendopo dan Sarinah serta mall-mall lainnya. Sejalan dengan itu Retta tetap terus melebarkan sayapnya untuk memperkenalkan produk-produk LazuliSarae ke tempat lain seperti ia ingin mengikuti ajang Hong Kong Fashion Week 2013 guna menembus pasar Asia setelah bisa menembus Eropa dan dalam negeri.
Ok Dech mbak Retta sukses terus ya.....
Anda baru saja menyimak artikel yang buagus banget. Saya sarankan Anda juga membaca artikel berikut ini: